Seraya Memuji Keagungan Dzat
Pencipta Alam Semesta Beserta Isinya, Dialah Dia Sebaik-baik Dzat Yang Maha
Memiliki Hati dan Muara Segala Pengharapan..
Wal Ashr..
Saat gue mulai menulis draft
postingan ini, suasana di luar rumah dan hampir seluruh muka bumi sedang
semarak menutup 365 hari di tahun 2015 dan bersiap menyambut 365 hari yang baru
dengan judul 2016. Yes. Ini malam tahun baru, A New Year’s Eve. Dan gue baru
sampe rumah setelah melalui perjalanan pulang yang (mungkin bisa dibilang)
paling menantang yang pernah gue alami. Kenapa bisa begitu? Apa perjalanan
hidup gue sepanjang 2015 ini sebegitu nggak menariknya sampe-sampe lebay pulang
kerja malem taun baru aja dibilang begitu? Yuk kita bahas..[1]
Perjalanan pulang ke rumah di
malam pergantian tahun adalah perjalanan pulang yang paling berbahaya dan
beresiko dari 365 hari yang ada di tahun tersebut. Kenapa? Karena bagi gue yang
tinggal di pinggiran kota satelit di Provinsi yang paling padat penduduknya
Se-Indonesia, segala bentuk tindak tanduk manusia dengan keajaiban perilakunya
semua tumpah ruah di jalan raya. Sepanjang perjalanan pulang dari stasiun kereta
ke rumah di Cibinong, bukan hanya cabe-cabean dan terong-terongan yang tumpah
turun ke jalan raya tapi juga akan dengan sangat mudahnya ditemui adanya
ulekan-ulekanan, panic-pancian bahkan hingga minyak panas-minyak panasan dan
isi-isi dapurnya sekalian semua tumplek blek di jalan raya. Sebagai orang yang
pernah diajarin soal ilmu tentang manusia kondisi ini jadi menarik buat gue. Sekalipun
punya tujuan dan pemahaman yang sama tentang malam pergantian tahun, tetapi
perilaku berkendara orang-orang ini sporadis dan arbitrer. Bagi gue yang hanya
ingin pulang ke rumah setelah pulang kerja (kebetulan) di malam pergantian
tahun, perilaku berkendara yang sporadis dan arbitrer di jalan raya yang
overpopulasi ini cukup mengancam nyawa. Ah.. sulit sih gambarinnya kalo pake
tulisan ini. Tapi coba, setelah baca tulisan ini, inget-inget atau kalo nggak
percaya silakan buktikan langsung di malam pergantian tahun 2017 kalo masih ada
umur.
Segala bentuk keajaiban bisa
ditemui di jalanan pada malam tahun baru. Salah satu yang paling ajaib dari
banyak keajaiban yang bisa ditemui pada malam tahun baru adalah keajaiban maneuver
pengendara motor. Serius. Berkendara di malam pergantian tahun bisa jadi ajang
melatih kemampuan dan kematangan emosional lo sebagai pengendara. Segala bentuk
kendaraan dengan aneka ragam jumlah, usia, tujuan dan orientasi arah
pengendaranya tumplek di jalanan. Ibarat main game, berkendara di malam
pergantian taun itu kayak mainin game ketangkasaan dengan tingkat kesulitan
paling tinggi tapi lo bisa alamin itu langsung dengan mata kepala lo sendiri
lengkap dengan resikonya. Jadi
kalo ya emosi, bakal beneran. Kalo jatoh ya cederanya sakit beneran. Kalo ketabrak
ya rusak beneran tapi susah minta ganti ruginya karena ternyata.. dsb, dsb,
dsb. Lagi-lagi ini menarik. Ada sharing
ideas yang terjadi di kepala semua orang yang turun ke jalan raya tentang
pemahaman dan pemaknaan malam pergantian tahun. Nggak berenti di situ mereka
juga mewujudkan gagasan dan pemahaman mereka tentang malam pergantian tahun
dengan tindakan berupa turun ke jalan. Menyoal sebab orang-orang ini memilih
jalan raya sebagai lokasi pengejawantahan gagasan mereka itu yaa meskipun bisa
dikira-kira tapi perlu ada primary
opinion sih dari pelakunya. Dalam pemahaman bahwa kebudayaan adalah adanya
pemahaman yang sama mengenai nilai-nilai yang berlaku di suatu lingkup
masyarakat dan terjadi transmisi pemahaman tersebut secara turun temurun, bagi
gue, fenomena malam pergantian tahun ini memenuhi semua persyaratan untuk bisa dikatakan sebagai sebuah kebudayaan (culture).
Terus kenapa? Ya gapapa.. Cuma pengen bilang
gitu aja. Bahwa keajaiban perilaku berkendara yang sporadis dan arbitrer dari
orang-orang yang tumpah ke jalan pada malam tahun baru adalah bentuk lain buat
memahami malam pergantian tahun dengan sudut pandang yang berbeda, yang agak
antropologis dikit, meskipun dari penjelasan yang gue paparkan itu ya ngaconya
banyak. Dari sini kita bisa belajar bahwa pada hakikatnya manusia memang
ditakdirkan untuk berbeda-beda. Gimana pun juga kita sebagai individu adalah bagian dari perbedaan itu. Ajaibnya
manuver-manuver pengendara di jalan pada malam tahun baru adalah salah satu
contohnya. Gue amat sangat bersyukur dengan kenyataan dan kesadaran bahwa gue memaknai
ajaibnya pengalaman perjalanan pulang kerja pada malam pergantian tahun sebagai
sebuah game yang nggak hanya challenging,
tapi ternyata juga fascinating kalo
kita sedikit aja mau sedikit lebih peduli sama diri kita sendiri dengan
merenung (atau seenggaknya berfikir) tentang apa-apa aja yang udah kita lewatin
se-sepele apapun hal itu, momen-momen itu. Karena University of Life ini nggak pernah berhenti ngasih pelajaran. Ada
pepatah bilang, “never stop learning because life never stop teaching”. Tapi kita sendiri juga harus inget
bahwa guru akan mulai pelajaran saat
muridnya dirasa sudah siap. And when you see it.. when you realized..
that’s must be the time that you know you’re blessed. Nggak akan
terlalu sulit lagi rasanya buat memahami maksud di balik pertanyaan tentang “Maka
Nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kau dustakan?” yang harus sampe diulang sebanyak
31 kali.
Berkendara pulang kerja di malam
pergantian tahun ini ngasih pelajaran ke gue bahwa, meskipun udah punya tujuan
dan pemahaman yang sama
tentang suatu hal tapi jalan yang akan ditempuh masing-masing orang itu ya akan
balik lagi ke orangnya, gimana karakternya, apa kebutuhannya dan gimana
takdirnya. Itu artinya emang nggak selamanya keteraturan itu aman. Kalo semua
seragam, waktunya jalan semua jalan, waktunya berenti baris semua di jalan
sampe puluhan kilometer mah ya hamsyong kejebak macet di jalan tol. Kejebak macet
di jalan bebas hambatan, bukannya itu paradoks ? gimana kalo itu kita jadiin
analogi dalam perjalanan hidup? coba di pikir ulang.. jalan seperti apa
sih yang udah kita tempuh buat ngelewatin 2015 ini? Lalu, Jalan seperti
apa yang akan kita pilih di 365 hari berjudul 2016 yang lagi disambut milyaran
orang secara meriah ini ? udah jadi pengendara seperti apa sih kita di
2015 ? akan jadi pengendara yang seperti apa kita di 2016 ?
mencelakai ? dicelakai ? tercelakai ? atau jadi orang yang niatnya
hanya ingin pulang ke rumah setelah capek seharian kerja tapi harus ngalamin
perjalanan yang ternyata panjang juga kalo direnungin..
Dan lagi-lagi idealnya semua itu bermuara pada
rasa syukur. Syukur karena ternyata kita telah berhasil menamatkan 365 hari
berjudul 2015 dan berani menyambut 365 hari berikutnya yang berjudul 365 dengan
kegembiraan, meskipun kita sama sekali nggak tau akan seperti apa si 2016 ini
nantinya. Well.. akan seperti apapun 2016 nantinya, kita telah memilih untuk
siap, karena kita, dengan cara apapun telah memutuskan untuk berani melepas
2015 dengan syukur dan menyambut 2016 dengan gembira dan suka cita.
Terlampir sejumput salam untuk 365 hari
berjudul 2016 yang sudah tiba di depan muka,
Bismillahi Tawakkaltu Alallah,
Laa Hawla Wa Laa Quwwata Ilaa Billah..
[1] walau
gue sendiri yakin yang peduli sama cerita ini ya diri gue sendiri, lah wong
yang rajin baca blog ini ya gue sendiri juga nanti-nanti ke depannya