Jumat, 28 Januari 2011

kecelakaan berpikir antropolog keblinger

rhiant's post

*Postingan ini gue tulis waktu bulan puasa kemaren, cuman sempet ilang bukunya jadi baru bisa diposting sekarang. Ada beberapa bagian yang gue edit buat nyesuaiin set waktu penulisan sama postingannya aja, tapi isi dan bagian lainnya tetep sama, begitupun dengan manfaatnya, tetep nggak ada. So, cicekcicekkejedot, cekidot!


Dengan menyebut nama Allah, dengan diiringi suara orang mengaji dari TOA mesjid dan terdengar masih ngantuk, dengan diiringi suara jangkrik dan suasana jalanan yang masih sepi.

Dengan postingan ini sekaligus gue mau ngasih tau bahwa gue baik-baik saja adanya dan telah kembali dari satu bulan yang luar biasa, hidup dalam garis terdepan Indonesia, bersama masyarakat yang luar biasa, serta tim yang terdiri dari orang-orang luarbiasa pula. Namun bukan itu yang mau gue ceritain. Ada hal lain tentunya, dan tentunya ada hal lain. Hal lain inilah yang bikin gue terpekur didepan teras rumah, diatur Tuhan untuk menemani suara orang ngaji yang mengantuk itu tadi. Hal lain ini pula yang buat gue nggak lantas kembali pergi tidur setelah makan sahur, karena setelah beberapa kalimat numpang lewat dalam kepala, tiba-tiba ide lain mengalir deras dan bertubi-tubi hingga tak bisa lagi dibendung. Maka, tulisan kali ini, pemikiran brutal ini resmi merupakan hasil kecelakaan semata.
Akan selalu ada banyak cara untuk melihat suatu objek yang sebenernya sama. sudut pandang, penggunaan media sebagai perpanjangan indera, kondisi emosional dan psikologis bolehlah kita masukin jadi cara-cara yang banyak ini. keadaan ini membawa kita pada kondisi dimana kita akan selalu dihadapkan pada suatu pilihan, dan kalimat “life is always about a choice adalah kalimat yang langsung nyelonong masuk dalam kepala, tapi emang begitu kiranya, bahwa kita –mau atau nggak mau—akan selalu dihadapkan dengan sebuah pilihan. Entah dengan sudut pandang sebagai subjek maupun objek. Antara memilih, atau dipilih. Ada hal lain? Tentu saja ada! Tapi gue memilih untuk melanjutkan pemikiran brutal ini pake cara gue, kita tentu aja bisa beda pendapat, tentunya itu adalah sebuah pilihan. Memilih untuk menjadi sama, atau untuk menjadi berbeda atau bahkan sisi paling ekstrim diantara keduanya, memilih untuk tidak memilih. Apakah itu ada? Apakah itu fair? Tentu saja ada, dan tentu saja fair. Karena memilih untuk tidak memilih justru menjadi ada dalam dirinya. “Ia menjadi ada dalam ketiadaannya, ketiadaannya ada ” (Dosen gue dalam kuliah Folklor, 31 Agustus 2010).
Lalu pemikiran brutal ini membawa gue pada kaitannya dengan permasalahan eksistensi dan self-positioning. Ada yang memilih untuk menjadi bagian dari mainstream untuk menegaskan keberadaan dirinya (kasih analogi contoh sendiri). Golongan ini memilih untuk menjadi bagian dari suatu aliran besar untuk menegaskan keberadaan dirinya, akan tetapi belum tentu keberadaan dirinya disadari, dipedulikan, dihiraukan, diperhitungkan dan berkontribusi bagi mainstream yang dipilihnya sebagai tempatnya berpijak. Ironis. Ada pula yang memilih kutub yang berlawanan untuk menegaskan keberadaan diri (self-existence) dengan cara menempatkan diri pada sisi sub-ordinat, powerless yang seringkali dipandang sebelah mata atau bahkan dianggap tidak ada, justru untuk menjadi ada dalam ketiadaan itu tadi, karena setidaknya ia menjadi ada untuk dirinya sendiri (inilah sebab mengapa kadang seseorang perlu menyendiri, semata-mata untuk self-reflexifity, bukan untuk menjadi anti-sosial. Jadi tolong dimengerti dan dibedakan!! *curcol). Jadi, persoalan mainstream-subordinat adalah tidak melulu persoalan superior-inferior. Dengan sudut pandang yang kayak begitu, akan jadi nggak ada lagi hal-hal yang dikatakan “sepele”, kecuali jika “sepele” lo artiin sebagai “sebesar pele” atau “seperti pele” (imbuhan se- dalam Bahasa Indonesia), masalahnya gue nggak ngerti arti pele itu apa, dan gue juga nggak bisa memperkirakan “sebesar pele” itu segede apa. Udah! Cukup urusan pele sampe sini aja udah cukup menimbulkan perdebatan dan kemudharatan, maka jangan lagi kita bahas ini banyak-banyak. Cukup tentang pele dan ukurannya oke? Cukup.
Lanjuuuut.. Gue keinget wejangan salah satu guru SMA dulu waktu gue masih lucu-lucunya (sekarang dengan status mahasiswa ini gue lagi dalam periode najis-najisnya) yang berpesan seperti ini “lebih baik jadi ikan dalam kolam dengan ukuran lebih kecil, karena setidaknya diri kamu akan terlihat lebih besar. Daripada menjadi ikan dengan ukuran yang sama namun berada pada kolam yang lebih besar karena keberadaanmu akan lebih tidak berarti.” Dulu waktu gue dikasih wejangan ini sih gue manggut-manggut aja, yang ada dalam pikiran gue palingan tentang species ikannya, apa nama latinnya, dimana habitatnya, gimana ekositemnya, gimana sistem respirasi dan ekskresi ikan ini dan lalalalaalalala.. yaa, maklum ajalah waktu itu gue cuma anak SMA kelas 3 yang lagi panas-panasnya pacaran belajar dan mempersiapkan diri buat ujian nasional. Sama sekali nggak kepikiran bahwa wejangan itu adalah sebuah kata-kata bersayap yang kemudian dalam pelajaran Bahasa Indonesia pernah kita kenal dengan “Majas” dan “Analogi”. Tapi ada kesamaan antara gue yang masih lucu-lucunya dulu dengan gue yang lagi najis-najisnya sekarang ini, yakni nggak pernah memilih diantara dua kemungkinan dalam analogi tersebut diatas, dan gue sangat mensyukuri pilihan gue untuk tidak memilih itu karena kini gue bisa mikirin wejangan bersayap itu secara brutal. Wahai Ibu/Bapak Guru SMA (kayak ada aja yang baca blog ini. *cihh!), maaf karena hingga saat ini saya tidak memilih karena saya bukan ikan. Saya juga tidak dapat membayangkan apa yang akan saya lakukan jika saya menjadi ikan, karena saya juga tidak tahu apakah ada ikan yang bisa memilih. Sekali lagi saya minta maaf, bukan maksud saya mencederai wejangan saktimu wahai Ibu-bapak Guru, karena bagi saya tidak ada yang lebih baik diantara menjadi ikan dalam 2 kolam berbeda ukuran tersebut jika sama sekali tak ada air didalam kolamnya (atau ada airnya yang tawar ternyata saya ikan laut, dan sebaliknya). Untunglah Tuhan menyelamatkan saya melalui akal sehingga saya bisa berfikir dan tidak memilih. Saya juga titip pesan bagi Ibu-Bapak Guru agar tidak membohongi adik-adik kelas saya dengan analogi ikan yang nyaris merenggut nyawa saya ini bila saya memilih, biarlah biar cukup saya saja yang seperti ini. Hati-hati kau wahai adik-adik kelasku, tidak semua perkataan guru-guru kita itu benar, dan tidak pula seluruhnya salah, hanya saja diperlukan sedikit akal sehat untuk berhati-hati.
Dalam disiplin ilmu yang gue pelajari sekarang, Antropologi, pemikiran brutal begini mungkin tergolong dalam konsep-konsep yang mirip dengan self-other, positioning, self-reflexifity, deconstructionism bahkan ngawur sampe konsep ekonomi rational choice dan lain-lain. Seandainya ada yang bilang bahwa nggak ada kaitannya konsep-konsep empirik sama pemikiran ngalor-ngidul-ngawur-awuran gue ini, gue akan tetep bilang bahwa ini mirip atau seenggaknya nyerempet sampe bikin lecet. Maaf-maaf karena gue bukan antropolog, belum jadi antropolog beneran yang bikin tulisan secara empirik, sistemik, holistik, akademik dan sedikit bau balpirik. Gue masih labil menempatkan diri gue dalam kaidah akademik, dan gue sendiri lebih nyaman menempatkan diri gue sebagai seorang life-observer yang lebih leluasa bergerak, berfikir dan berkarya tanpa terlelu terikat kaidah-kaidah normatif ilmu pengetahuan yang mereka ciptakan untuk kemudian menjerat kalangan akademisi itu sendiri dikemudian hari. Karena gue belajar untuk kekayaan (bukan dalam arti materi) diri gue sendiri. Karena antropolog menulis fenomena-fenomena yang ada dan terjadi pada objek kajiannya secara serius dan terkonsep rapi, sedangkan tulisan-tulisan gue lebih bersifat murni accidental, coincidence dan berbagai istilah-istilah lain yang bersifat ketidak-sengajaan dan kecelakaan semata yang ditambah sedikit suasana hati, maka sekiranya gue adalah seorang calon antropolog yang baik, atau lebih tepatnya seorang antropolog keblinger. Antropolog yang baik pasti menulis ide yang sama dengan konsep yang jelas. Ethos, moods-motivationnya Clifford Geertz pasti bisa kepake. Atau ide-ide lain dari Foucault juga bakal masuk. Tapi gue bukan Clifford Geertz, Foucault atau bukan pula ikan. Gue cuma calon antropolog keblinger yang memilih untuk ada pada diri gue dengan cara gue untuk menjadi ada. “cogito ergo sum”? mungkin, gue juga nggak tau dan belum tertarik untuk menjadi tau.
Akhirul kalam, dengan menukil banyak dari pemikiran guru yang nggak mau dijadikan guru tapi gue tetep maksa, kakanda Haji Pidi Baiq, gue mau bilang kalo inilah ini diri gue dan itulah itu diri lo. Setiap orang memiliki latar belakangnya sendiri-sendiri sehingga satu sama lain otomatis saling berbeda. Ini akan menyenangkan jika kita tidak lagi saling memaksa untuk menjadi sama, untuk menjadi seragam sepemikiran, untuk seragam dalam perilaku, untuk seragam dalam bersikap karena kita ini bukan robot. Mari, telah tiba masanya untuk mendahulukan menengok diri untuk menjadi bijaksana, minimal berusaha mencoba bijaksana, sehingga kita bisa memahami sebelum memarahi karena kita tidak diciptakan dari api. Kau tidak perlu merasa paling benar jika saya salah, dan saya tidak perlu merasa paling salah jika kau benar (Pidi Baiq, 2008(a): 18). Wahai manusia, sesungguhnya dia yang marah adalah dia yang lemah, yang tidak bisa mengurus bahkan dirinya sendiri untuk tetap dalam kendali. Karena sesungguhnya apabila dia berilmu, justru itu seharusnya ia lebih menunjukkan sifat dirinya yang bijaksana (Pidi Baiq, 2008(b): 17). Dan juga sekalian gue mau bilang, tentang ada hal lain yang bisa kita ambil dari melulu cuma makna. Kegilaan dan permainan adalah terapi yang penting untuk menjaga kewarasan dan keindahan hidup. Manusia telah menjadikan hidup terlampau serius, terencana dan rasional – terlampau normal, kata Michel Foucault—hingga hidup tak lagi menawan menggemaskan dan orang terjangkiti amnesia massal, alias lupa. Lupa pada tertawa, lupa pada kekonyolan manusia yang kerap menggelikan, lupa bahwa hidup barangkali memang sebuah permainan indah yang mengasyikkan, akal-akalan manusia, permainan Tuhan (Bambang Sugiharto, 2008). Sungguh sayang sekali jika hidup bagi lo hanya sekedar untuk menghidup oksigen.
Inilah ini pemikiran brutal, hasil dari gangguan tidur selepas makan sahur, karya tidak sengaja yang datang dari ide tiba-tiba. Jika ada yang baik ambillah, dan jika buruk adanya maka tak perlu dimasukkan kedalam hati. Inilah ini pemikiran brutal, murni akibat sebuah kecelakaan pikiran, tidak perlu dipikirkan berlebihan apalagi dipahami sebagai sebuah keniscayaan. Salah seorang senior gue pernah menuliskan “tidak ada yang lebih indah selain karya yang diapresiasi” (Sofyan Ansori, 2009). Kembali pada kata-kata gue diawal tadi, bahwa akan selalu ada banyak cara untuk melihat suatu objek dan akan selalu ada berbagai suara dalam apresiasi, maka Insya Allah gue memilih untuk mengapresiasi tulisan ini dengan cara yang baik. Inilah ini tulisan gue dan silahkan bikin tulisan lo sendiri, maka bersama kita tergolong sebagai kaum yang berpikir lagi produktif.
Oh terimakasih Wahai Tuhan
Oh terimakasih Wahai Baginda Rasul
Oh terimakasih Wahai Haji Pidi Baiq
Oh terimakasih Wahai kalian yang telah memberi warna sejauh perjalanan hidup ini, apapun warna yang telah kalian torehkan sesungguhnya berbeda antara satu dengan lainnya
Oh terimakasih kekuatan aneh yang menginspirasi gue membuat tulisan ini, mungkin karena semalam terlalu lama berkumpul bersama para anggota bloonhood yang lain
Oh terimakasih orang-orang yang namanya gue sebut dan pemikirannya gue nukil
Oh terimakasih Wahai Tuhan untuk setiap helai nafas yang Kau beri, untuk setiap denyut jantung yang kujalani, untuk setiap kedipan mata yang kulewati, untuk setiap jengkal bumi-Mu yang kulangkahi, untuk setiap detik yang Kau percayai untuk kujalani dan untuk setiap dosa yang Kau ampuni.

0 komentar: