Bermula dari
posting temen-temen gue di beberapa media sosial serta pembahasan yang (malah)
jadi serius dari komentar-komentar terkait posting itu makanya tulisan ini jadi gue buat.. emang
suka begitu, hal-hal yang mulanya becanda suka jadi serius, hal yang dari
awalnya diniatin serius beberapa lama kemudian berujung jadi bahan becandaan. Ya
wajar sih, lo baru idup sekali kan? Sama! Haha.. kalo gitu silakan dilanjut
ngebacanya.. let’s start the ride and fasten your seatbelt.
Well, menikah
adalah isu yang nggak mungkin dihindari seiring dengan berjalannya nominal umur
lo, apalagi ketika usia lo udah memasuki kepala 2. Oh, asumsi ini dibuat
berdasarkan standar kedewasaan yang common sense berlaku di masyarakat saat ini
yaitu 21 tahun. Jadi kalo ada daerah-daerah yang angka pernikahan dini (kurang
dari 16 tahun) masih terbilang tinggi kita kesampingkan dulu ya. Lagipula permasalahan yang akan kita bahas di
sini belom tentu juga jadi masalah bagi mereka yang melakukan pernikahan dini. Setiap fase usia kan punya permasalahannya masing-masing, bukan begitu
bukan? Gini, Idul Fitri baru aja berlalu dua minggu saat gue bikin tulisan
ini. Jadi masih segar dalam ingatan gue tentang ketakutan banyak orang yang
tumpah media sosial tentang berbagai macam reaksi mereka ketika
mendapat pertanyaan klasik saat keluarga besar lagi kumpul. Mulai dari
pertanyaan-pertanyaan yang wajar semisal “kapan nikah?”, “mana calonnya?”, “nunggu
apalagi sih?”, “nyari calon yang kayak apa sih?” sampe pertanyaan-pertanyaan
yang ajaib kayak “kamu udah sembuh kan?” atau “kamu straight kan?”. Situasi
kumpul keluarga besar adalah situasi yang sama sekali nggak bisa diprediksi
kemana arah dan tujuan obrolannya, nggak jelas mana sodara yang beneran care, yang
ngejek, atau yang sekedar basa-basi karena cuma itu yang bisa jadi bahan
obrolan setahun sekali. Oke, kebablasan, intinya gue cuma mau buat poin bahwa
usia adalah salah satu pertimbangan paling penting dalam pernikahan.
Kenapa usia
penting dalam sebuah pernikahan? Daripada ngelantur, gue akan membatasi
pembahasan gue berkisar tentang standar ‘usia menikah ideal’ yang berlaku di
masyarakat sekarang ini, juga atas dasar apa konsepsi ‘standar usia menikah
ideal’ itu terbentuk. Diskusi panjang antara gue dan beberapa temen gue terjadi
karena temen gue memposting gambar ini dalam salah satu media sosialnya:
Intimidatif ya
judulnya? Memang. Personally, nggak ada masalah kok dengan tabel ini. Pembahasan
jadi muncul karena gambar yang temen gue post ini direpost oleh salah satu
vendor asuransi. Nggak ada yang salah juga dengan asuransi, beneran, gue juga
bukan seseorang yang alergi dengan asuransi. Sama sekali enggak. The things is,
tabel ini jadi gambaran tentang kondisi (dan persepsi) masyarakat sekarang yang
mengedepankan tentang kemapanan emosional, psikologis dan finansial sebagai ujung
tombak pernikahan. Kalo dikulik lagi sedikit, ini sepenuhnya asumsi gue,
sasaran utama tabel ini adalah kaum pria dengan golongan menengah ke atas. Kenapa?
Coba lihat, usia menikah paling muda yang tercantum di tabel ini adalah 25
tahun. Silakan lakukan survey random sama temen-temen perempuan lo, tentang apa
yang akan mereka lakukan saat mereka berusia 25 tahun. Hasilnya bisa
ditebak kalo mayoritas akan menyebutkan ‘pengennya sih umur segitu udah
nikah, udah settle, sukur-sukur udah punya anak’ dan lain sebagainya’. Nggak sedikit juga perempuan yang
memasang target menikah di umur lebih tinggi dengan berbagai alasan, tapi gue
masih amat percaya kalo usia 25 tahun bagi perempuan itu adalah ‘finish line’
bagi mereka. 25 tahun bagi perempuan jadi semacam jam biologis yang kalo mereka
sampe lewat itu, mereka masih kena berbagai macem stigma dari lingkungannya. Perawan
tua-lah, nggak laku-lah, masalah kepribadian-lah, segala macem. Entah kayak ada semacam persaingan tak terlihat di antara para perempuan dalam satu lingkungan pergaulan kalo yang satu udah nikah, kemudian satu persatu nikah, pasti ada aja (atau malah semuanya) yang uring-uringan pengen segera nikah juga karena temen-temennya udah pada nikah. Men, life isn't a race! Sampe pernah juga ada becandaan antara gue dengan senior gue beberapa tahun lalu, saat itu gue masih
maba yang bunyi omongannya kira-kira begini:
“cewek-cewek
umur 25 itu rata-rata udah deadline, umur segitu mereka akan mulai concern sama
hal-hal jam biologis tubuh tentang usia terbaik rahim untuk dibuahi, soal usia kematangan
psikologis seorang ibu sama anaknya, soal kemapanan finansial. Terlepas dari
semua yang jadi pertimbangan mereka itu emang bener, yang lebih bener lagi ya
pada umur segitu banyak perempuan itu udah panik sama jodoh mereka. Ketika udah
panik, mostly udah nggak peduli lagi sama cinta-cintaan, siapa aja yang berani
ngajak nikah, sikat. Cinta bisa dipupuk belakangan. Kita juga sebagai laki-laki
juga diuntungkan sama budaya patriarki semacam ini. Bisa ngambil keuntungan
disaat para perempuan itu panik dengan jam biologis yang sebenernya mereka
construct sendiri dalam pikirannya. Udah lo abaikan deh cewek-cewek yang
seumuran sama lo kalo lo nggak bener-bener siap, lo akan punya lebih banyak
pilihan saat mereka (junior-junior) itu masuk masa deadline terus panik, dan
saat itu harusnya lo udah lebih siap secara psikologis dan finansial. Lo tinggal
pilih mau yang kayak apa, tinggal comot!”
Sialannya, baru-baru sekarang ini gue nangkep maksud obrolan senior gue ini, dan bener-bener nyata terjadi di sekitar
gue. Oh iya, gue amat sangat sadar dengan kemungkinan argumentasi gue (dan
senior gue yang gue kutip) di atas ini akan jadi bancakan bagi mereka yang
nggak setuju. Perdebatan itu juga udah terjadi saat gue nulis postingan ini,
tapi gue punya alasan kenapa tetep gue cantumin di sini. Hai
perempuan-perempuan yang kebetulan baca postingan ini, liat, gimana cara lelaki
memanfaatkan kepanikan kalian atas deadline yang kalian buat dalam pikiran
kalian sendiri, dan gimana kami para lelaki mengambil keuntungan atas situasi
tersebut. You’d better watch yourself and step carefully!
Kembali ke tabel di atas. Selain
ditujukan buat laki-laki, tabel tersebut juga masih menyasar kelompok
masyarakat yang percaya bahwa mereka akan pensiun kerja setelah memasuki usia
55 Tahun, atau dengan kata lain, PNS. Coba lihat gradasi warna hijau dan kuning
di kolom paling kanan. Sebelom lo pensiun anak pertama lo (diasumsikan) udah
akan menikah jadi lo akan memasuki masa pensiun dengan tenang, nggak perlu ada
pengeluaran besar lagi untuk anak dan keluarga. Menikmati masa tua dengan indah
deh pokoknya. Tapi sadar atau enggak, menurut tabel itu, saat anak pertama lu
diasumsikan akan menikah usianya justru baru 24 tahun (usia anak saat nikah =
usia orangtua saat anak nikah – usia orangtua saat anak lahir), dan usia
menikah ideal dalam tabel ini baru dimulai pada angka 25 tahun. Jelas tabel ini
tabel yang egosentris, karena sudut pandangnya yang dipakai adalah sudut
pandang kita saat ini, bukan sudut pandang kita sebagai pelaku aktual yang
menghadapi langsung kondisinya. Tabel ini masih perlu dikulik lagi lebih dalem kalo misalkan muncul pertanyaan, "gimana kalo gue kerja di swasta yang pensiunnya bisa lebih tua?", atau "gimana kalo gue ternyata jadi pengusaha yang nggak kenal kata pensiun?", atau "gimana kalo tetiba gue kena PHK di tengah jalan?", lalu "gimana kalo ternyata anak gue belom mau nikah ketika udah masuk umur 24 tahun?", dan lain sebagainya. fyuh! Fleksibilitas tentu jadi pertimbangan dan nggak mungkin dimuat dalam tabel bukan? Tabel itu hanya perlu dibaca dengan sedikit lebih tenang, bukan dengan perasaan “untung gue belom”, atau “oke, xx tahun lagi”, bahkan “mampus gue udah lewat deadline”. Terlalu banyak pertimbangan sebelum menikah juga nggak baik juga. Kadang kita terlalu fokus nyiapin hal-hal yang sifatnya materi, seiring dengan itu kita juga nyiapin bekal rohani dan bekal psikologis. Karena kita terlalu sibuk sama hal-hal itu sering kali kita justru luput sama permasalahan utamanya sebelum menikah. Mau lo nikah umur berapa kek, mau lo nikah di mana dan pake budget berapa kek, mau abis itu lo tinggal di mana kek. Masalah utamanya tetep sama. sama siapa? Ini penting! Ini genting! Masalah ini harus ketemu dulu jawabannya sebelum lanjut mikirin yang lain. Hahahahanyinghahahahaha..
Oh, oke. Astaghfirullah. Maap-maap. Kembali ke bahasan serius ya. Melek finansial adalah kecakapan
pribadi yang mutlak diperlukan buat generasi sekarang ini. Wajib, nggak boleh
enggak! Tapi bukan berarti segalanya bisa diputuskan dengan takaran materi kan?
Tapi dengan begitu bukan berarti kita, lo dan gue, nggak perlu mempersiapkan
apapun dan berserah gimana nantinya kan? Please remember this, it is better to have a
plan you don’t need rather than needs a plan you don’t have. Change the plan,
not the goal. But the most important thing is, keep moving, and make sure it is
forward. Kembali pada permasalahan nikah-menikah di atas, mengingat
pada kondisi gue sekarang, gue amat sangat setuju dengan postingan ini. Terlepas
dari yang posting adalah perempuan yang memang menginspirasi banyak orang (dan
gue pun mengidolakan doi pastinya), foto yang dia posting lengkap dengan
captionnya adalah insight yang sangat bijak dalam menyikapi pembahasan kita di
atas tadi. Kayak apa? Nih!
Dan, oh.. gue juga harus
memberikan kabar gembira yang terlambat beberapa bulan bagi yang kebetulan
mampir di blog ini. Pencarian udzi sudah berakhir. Dia akhirnya berlabuh sama
sesosok perempuan yang dia nggak pernah sebut-sebut dalam blog ini. Haha..
selamat! Kabar gembira juga datang dari Huda yang baru beberapa minggu mendapatkan
jagoannya yang kedua, selamat boi! Arry? Dia mah nggak pernah nggak gembira, dibawa
happy terus, dan ini bawa pengaruh positif buat lingkungan sekitarnya. Okeh,
tahun ini masih tersisa 4 bulan sebelum berganti. Semoga akan ada lagi tambahan
kabar bahagia dari kakak-adik sodara kandung satu bapak-satu ibu. Dari James
yang sedang mempersiapkan segalanya untuk bisa ‘berlabuh’ tahun ini, semoga
lancar nyet! Juga dari eL (adeknya James) yang lagi pegang hajatan besar
Matareda Fair tahun ini, semoga lancar. Setelah posting terakhir terbit tahun
2013, kira-kira beginilah bentuk kita sekarang:
Yap. That’s all, folks!
Apa?
Kabar gembira apa dari gue? Hahaha..
Tungguin aja
Doain ya! :)
0 komentar:
Posting Komentar