Selasa, 10 Mei 2011

cinta segitiga antara pluralisme, multikultural dan #antropologkeblinger

rhiant's post 

Lagi-lagi post ini muncul karena kecelakaan yang dikombinasi dengan tuntutan untuk memperbanyak post versi #antropologkeblinger karena ternyata lumayan juga yang (ngakunya) belajar lewat tulisan goblok calon antropolog yang bahkan nggak tau itu nulis apa. ini jawaban yang gue kasih ke temen gue sebagai balasan atas pertanyaannya, sebagai pertolongan bagi tugas kuliahnya. konteks jawaban juga menyesuaikan sama pertanyaanya aja, itupun ga mikir panjang lagi. jadi aspek empirik, holistik, balpirik dan chopstick tentunya sangat dikesampingkan. Dengan dada membusung, bahu tegap, dagu jumawa dan kantong kempes gue berani memastikan bahwa nilai tugasnya yang gue bantu ini pasti akan... hancur lebur! hahahahaha *ketawasetan*. Ya beginilah akhirnya, episode kedua tulisan ngawur bebas #antropologkeblinger, selamat muntah, selamat mencela.. 
Jadi begini saudara-saudari yang baik, sebelum kita mulai pembahasan mengenai masyarakat majemuk ini marilah sebelumnya kita berdoa, semoga Allah menjadikan ilmu yang kita akan pelajari ini jadi berkah dan berguna, serta semoga Allah mengampuni Charles Darwin karena durhaka pada orangtua dan nenek moyangnya. Amin.
Pengertian pertama, majemuk itu nggak terdiri dari satu penyusun aja, atau dengan kata lain nggak homogen. Majemuk sendiri ajuga terbagi atas 2 kategori, ada plural, ada multikultural. Indonesia kita yang gagah perkasa dan murah senyum ini multikultural, karena penyusunnya adalah berbagai macam kebudayaan kecil-kecil yang insya allah sepakat untuk mempersatukan dirinya dalam bentuk suatu negara-bangsa, nggak cuma negara doank, atau bangsa doang, tapi suatu cita-cita kesatuan dalam bentuk negara yang subhanallah padu. Berbeda sama plural, kebudayaan penyusunnya adalah kebudayaan besar-besar yang jelas. Misalnya Amerika, budaya mereka tesusun atas kebudayaan China, Eropa, Latin, Arab, dan lain-lain yang lebih besar yang bertumpuk dalam satu wilayah Amerika itu, budaya aslinya sendiri cenderung ada dibawah bayang-bayang kebudayaan-kebudayaan tadi. Contoh lain, Jakarta, apa sih, siapa sih, kayak apa sih yang namanya betawi itu? Orang keturunan Cina di Jakarta ngaku Betawi, orang Jawa juga, orang Sunda juga, orang arap juga, sampe orang sarap juga ikut ngaku-ngaku orang Betawi, tapi sebenernya Betawi itu nggak ketauan aslinya yang mana, yang ada cuma penyusunnya aja, atau dengan kata lain wilayah geografisnya itu jadi “melting-pot”. Betawi ya tersusun atas mereka-mereka itu tadi, minus orang sarap tentunya.
Gimana dengan Malaysia? Gue rasa lo pasti udah punya gambaran donk gimana negara tetangga serumpun yang kepo-an itu.. malaysia tergolong dalam negara yang plural, karena terdiri atas 3 kebudayaan besar penyusunnya, yakni China, India dan Arab (Gujarat-Persia) yang melt-down jadi satu dalam wilayah Malaysia itu sekarang dan naik dengan satu identitas yang sama sebagai melayu. Bandingin coba sama Jakarta, sama deh, palingan bedanya cuma kalo orang Betawi ngomong agak lebih cablak doangan mulutnya.. haha, #nooffense 
Ini definisi dan ciri plural menurut Furnivall “Masyarakat majemuk itu masyarakat yang terdiri atas satu atau lebih golongan atau tata sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa berbaur dalam satu unit politik.Ihwal ”tanpa berbaur dalam satu unit politik” lantaran ”penguasa dan rakyat berasal dari ras berbeda. Kurang? Nih.. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnivall (1940) adalah kehidupan masyarakat berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka terpisah-pisah karena perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuah unit politik. Sebagai seorang sarjana yang pertama kali menemukan istilah ini. Furnivall merujuk pada masyarakat indonesia di zaman kolonial sebagai contoh yang klasik. Masyarakat hindia belanda waktu itu terpisah-pisah dalam pengelompokan komunitas yang didasarkan pada ras, etnis, ekonomi dan agama. Tidak hanya antara kelompok yang memerintah dan yang diperintah dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi masyarakatnya juga secara fungsional terbelah dalam unit-unit ekonomi, seperti antara pedagang cina, arab dan hindia (foreign asiatic) dengan kelompok petani bumiputera. Menurut Furnivall masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri (exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing.
Keliatan nggak ilustrasinya sama kasus malaysia, apa faktor internal yang mendukung? Kira-kira karena Malaysia emang nggak punya kebudayaan asli di-mainland mereka, adanya ya orang Melayu itu tadi, jadi tingkat heterogenitasnya rendah, kenapa rendah? Ya karena emang nggak ada, atau nggak terekspos. Secara ras mungkin ada, tapi akibat pengaruh kolonialisasi juga perlahan-lahan dihilangkan (mungkin karena repot juga ngurusnya, mungkin juga karena biar gampang ngaturnya) makanya tinggal hanya jadi satu kebudayaan besar Melayu. Itu tadi faktor eksternal yang jadi pendukungnya, selanjutnya apa? Inget kalo Malaysia itu negara federasi yang terdiri dari 9 negara bagian? Nah negara-negara bagian ini bergiliran memegang kuasa penuh terhadap negara, dan mewakili sembilan karakter entitas etnis yang berbeda-beda.
Gimana? Pusing? Ya begitulah kiranya, apalagi gue belajarnya beginian mulu, dan ngaco melulu.. tapi marilah kita mengucap syukur, karena hanya itulah kiranya yang dapat saya sampaikan, berhubung keterbatasan volume otak juga. Terimakasih ya Allah karena engkaulah Dzat yang Maha Tahu, Terimakasih juga Google, karena setelah Allah, engkau jugalah yang maha tau, tapi tanpa izin Allah, google nggak akan bisa serba tau model begitu. Ckckck.. alhamdulilah, demikianlah kiranya kakanda akhiri pertemuan kita yang singkat ini sampai disini saja, semoga adinda tetap istiqomah dalam jalan perjuangan adinda, dan semoga Allah selalu melindungi adinda, dimanapun dirimu berada. Wallahu’alamu bish showaab.

0 komentar: